
Opini oleh Asmil Syaputra
– Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2021
– Koordinator Divisi Kekaryaan Forum Lingkar Pena Universitas Negeri Makassar Periode 2024-2025)
Apa Itu Ikhlas?
Ikhlas secara etimologis adalah keselamatan (an-najat). Ibarat seorang dikatakan selamat (khalasa) jika ia terkena busur panah yang mematikan, kemudian busur panah bisa dicabut dan nyawanya bisa diselamatkan. Artinya yang dinamakan selamat, yaitu selamat dari kematian yang pasti.
Ikhlas adalah sebuah proses yang dinamis yakni proses yang berkelanjutan. Namun, ikhlas adalah interaksi “eliminasi” bukan akumulasi. Dengan kata lain, ia adalah proses interaksi yang berkelanjutan dengan lingkungan sekitar untuk mengetahui “panah” yang dilepaskan oleh lingkungan beserta akibat yang ditimbulkannya, kemudian mencabutnya.
Dengan demikian, ikhlas berarti menetapkan satu sisi dan menafikan seluruh sisi yang berbeda. Seperti yang tergambarkan dalam surah Al-Ikhlas, kendatipun di dalamnya tidak terdapat kata ikhlas bahkan kata lain yang seakar dengan kata ikhlas.
Ikhlas yang Paling Mulia dalam Kacamata Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, ikhlas yang paling luhur (mulia) adalah ikhlas karena faktor agama. Surah yang paling banyak membahas tentang keikhlasan adalah Surah Az-Zumar. Berikut satu di antara firman-Nya:
“Katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (QS. Az-Zumar [39]: 11).
Ikhlas beragama merupakan pandangan yang murni yang dibersihkan dari kerusakan dan noda-noda pandangan lain, dan menuntut adanya amal tertentu yang disebut dengan “ibadah”. Ibadah di sini bukanlah segala perbuatan secara mutlak, bukan juga sebagaimana yang biasa kita pahami. Ibadah menjadikan kita seperti yang diperintahkan oleh Tuhan yang kita sembah. Dan kita berbuat sebagaimana yang dikehendaki-Nya.
“Katakanlah, ‘Hanya Allah yang Aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).
Ibadah yang disertai dengan kemurnian (keikhlasan) pandangan agama. Ia bukanlah pandangan teoretis yang mengesampingkan realitas. Sebenarnya ia juga bisa disebut “perbuatan”, perbuatan yang sesuai dan mengaktualisasikan konsep.
Maka, ibadah adalah perilaku yang sesuai dengan karakter tertentu. Karakter yang ditentukan oleh agama. Singkat kata, ibadah adalah kesesuaian antara pemikiran dengan perilaku.
Kegagalan Akibat Pertentangan Pandangan
“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya amalmu akan terhapus dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65).
Syirik di sini sangat berkesesuaian dengan konteks surah berikut,
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang hamba sahaya yang menjadi milik penuh dari seorang (saja). Adakah kedua hamba sahaya itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui,” (QS. Az-Zumar [39]:29).
Surah Az-Zumar [39]:29 berbicara tentang perumpamaan seorang laki-laki yang selamat dan seorang laki-laki yang menjadi bahan perselisihan banyak orang. Sedangkan pada surah Az-Zumar [39]: 65 berbicara tentang syirik yang bermakna menyekutukan pandangan pokok yang bersumber dari Allah dengan pandangan yang bersumber dari peradaban bumi.
Tatkala berbagai konsep pandangan saling bercampur dibarengi dengan segala “pertentangan internal” yang ada padanya, pasti akan berujung pada kegagalan. Proyek apa pun akan gagal bila pelaksananya memiliki banyak konsep yang saling bertentangan dan tidak selaras. Sebagian proyek berujung pada kegagalan bukan karena proyek lain telah mengahkannya, Akan tetapi, hal itu lebih disebabkan karena adanya pertentangan internal.
Konsep-konsep itu akan saling bertentangan ketika kita mengikutkan sesuatu yang tidak semestinya diikuti, sehingga pekerjaan kita pada akhirnya akan sia-sia. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu.”
Pergulatan Batin untuk Mencapai Keikhlasan
Di dalam diri kita ada sesuatu semacam itu, beberapa individu yang saling berselisih. Pergulatan batin yang tiada henti antara pandangan dan pemikiran, lahiriah tidak seperti batinnya. Ibarat perilaku ada di satu lembah dan pemikiran berada di lembah yang berbeda. Pandangan, pemikiran, gaya hidup, ideologi, dan kotak mimpi masa depan peradaban lain yang memiliki titik tolak dan landasan yang bervariasi. Hal yang terpenting adalah kita harus menghentikan perselisihan ini dan lebih khusus lagi harus kita selesaikan dengan cara yang benar.
Dalam surah Az-Zumar [39]:29 digambarkan perbedaan signifikan antara laki-laki yang diperselisihkan oleh dua orang dan laki-laki yang menyerahkan diri hanya pada seorang saja. Inilah “ikhlas yang hakiki”. Tiada seorang pun terlahir menjadi pribadi yang ikhlas kecuali melalui proses interaksi dengan lingkungan dengan membuang pandangan lain, meskipun dengan perih dan susah payah (mencabut panah yang mengenai jantung).
Kesimpulan
“Kita menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” Itulah tiga serangkai (ibadah-ikhlas-agama) yang menginterpretasikan tentang makna niat dan ikhlas. Bukan hanya dalam salat, tetapi dalam ‘segala sendi kehidupan’. Kita beribadah kepada-Nya dengan memurnikan ketaatan dalam menjalankan ajaran agama, berarti konsep pandangan kita terhadap kehidupan sesuai―atau diupayakan serasi―dengan perilaku dan perbuatan kita.
“Agama bukan hanya disimpan rapi dalam rak-rak buku atau sekadar di dalam kepala. Tempatnya yang sebenarnya harus pada perilaku kita.”
Hal yang demikian mengingatkan kita pada sebagian cendekiawan yang mengatakan bahwa mereka menjadikan Islam sebagai “pandangan hidup”. Maksudnya, mereka tidak ingin terikat dengan hal-hal yang bersifat praktik. Mereka menganggap bahwa bagian ini hanya diperuntukkan bagi orang awam. Sementara tugas mereka adalah memperdalam dengan susah payah bagian yang bersifat konsep pemikiran saja.
Namun, hal itu tidak akan bisa menyatu dengan susunan alamiah Al-Qur’an (ibadah-ikhlas-agama) yang terdiri dari tiga unsur yang berjalan bersama-sama dan tidak terpisahkan. Sebagaimana tidak dapat terpisahkannya hidrogen dari partikel air, karena itulah yang menjadikan air tetap menjadi air.
Tidaklah dinamakan Islam jika difungsikan sebatas pandangan hidup yang terpisahkan dari pelaksanaan, yang semestinya terikat dengan konsep tersebut. Islam secara defenitif menolak kemungkinan semacam itu. Jika ditemukan konsep semacam itu maka hasilnya bisa dipastikan bahwa amal perbuatanna akan sia-sia. Pemikiran hanya menjadi sebatas pemikiran layaknya hantu linglung di rumah kosong.
——————————————————————————————-
Opini ini ditulis dalam rangka menjaga nilai dan prinsip diri dalam mengambil peran di dunia, baik itu sebagai anak-orang tua, siswa-mahasiswa, suami-istri, anggota-ketua, dan sebagainya.
Jika kamu adalah pelajar, mahasiswa, atau masyarakat umum yang tertarik untuk mengasah kemampuan menulis dan berpikirmu, mari bergabung dalam Training Writing of Recruitmen (TOWR) Forum Lingkar Pena Universitas Negeri Makassar. Dan pastikan niat dan keikhlasanmu lurus, ya!
Tautan Pendaftaran: https://bit.ly/PendaftaranTowrFLPUNM2025
Narahubung: 085649121236 (FLP UNM)
Cek info selengkapnya di Instagram @flp_unm
