
Oleh: Rifan Basahona
(Pegiat Literasi)
Idealisme: Kemewahan Terakhir Kaum muda
Langit kampus hari itu mendung, tapi semangat ribuan mahasiswa yang memadati lapangan kampus tak surut sedikit pun. Di tengah lautan manusia dan spanduk-spanduk perlawanan, berdirilah tiga patriot bersahabat: Hamid, Farhan, dan Abdul. Mereka bertiga dikenal sebagai motor gerakan mahasiswa di kampus. Wajah mereka sering muncul di buletin kampus, di diskusi-diskusi oraganiasai, orasi-orasi mereka selalu ditunggu, dan langkah mereka tidak pernah alpa dalam setiap demonstrasi.
Di depan ratusan mahasiswa yang berkumpul di lapangan kampus, Hamid menggenggam erat megafon, nafasnya tersenggal, tatapannya tajam, kata-kata bijak perlawanan dari para toko revolusi selalu terdengungkan disela-sela orasinya, masa aksi terus membara dengan kata-katanya, diakhir kesempatan orasinya ia mengatakan kepada masa aksi
“Kawan-kawan! Kita tidak sedang bermain-main hari ini!”
“Kita menolak kenaikan harga bahan pokok (BBM) yang menghancurkan rakyat kecil!”
“Kita lawan kekuasaan yang menindas rakyat,
“kita melawan para korporasi dan kapitalisme yang mencaplok habis tanah-tanah kita!”
Suara Hamid menggema, disambut riuh massa aksi yang hadir. Di belakangnya, Farhan menyalakan semangat para masa aksi dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memimpin yel-yel perlawanan:
“Hidup Mahasiswa!”
“Hidup Buru!”
“Hidup Petani”
“Hidup Nelayan”
“Hidup Kaum Miskin Kota”
“Dan Hidup Perempuan yang Mau Melawan”
Suara Hamid dan Farhan menjadi dominasi di tengah puluhan masa aksi yang hendak melakukan protes pada hari itu. Abdul sibuk kesana kemari, Ia tak membawa megafon, tapi ia memegang kamera tua yang selalu digantung di lehernya. Ia ditugaskan untuk mendokumentasikan tiap momen perjuangan: wajah-wajah muda yang marah, spanduk penuh pesan tajam, dan orasi sahabat-sahabatnya yang membakar semangat masa.
Tapi ia bukan sekadar juru foto, ketika masa aksi hendak diarahkan menuju ke Kantor Gubernur dan DPR, Ia diberikan kesempatan untuk berorasi, Ketika megafonn berpindah padanya, Ia berbicara dengan tenang namun menusuk kalimatnya tajam dan penuh makna.
“Kalau kampus tak berpihak pada rakyat, maka kita akan robek jubah akademik yang penuh kemunafikan ini.”
“Ingat kawan-kawan kaum muda merupakan agen perubahan”
“kita punya ide dan gagas yang tidak hanya kita gaungkan di kelas-kelas”
“ide dan gagas kita harus diterjemahkan kedalam penderitaan rakyat”
Protes hari itu bukan sekadar unjuk rasa biasa. Mereka menolak kenaikan BBM dan juga menolak proyek pemerintah yang menggusur lahan tani di pinggiran kota untuk dijadikan kawasan industri. Warga desa sudah beberapa kali mengadu, tapi tak pernah didengar. Maka mahasiswa turun ke jalan, membawa suara rakyat yang dibungkam.
Masa aksi menyusuri jalan kota, dengan sorak-sorak perjuangan yang tidak pernah putus. Henpone Hamid yang berada di dalam tas terus bergetar, ketika di lihat ternyata nomor yang tidak dikenal, saat ia sibuk berorasi ternyata ada lima panggilan yang masuk di nomornya, lima panggilan itu dari nomor yang berbeda-beda, Ia suda menaruh kecurigaan ini pasti ada kaitannya dengan demonstrasi yang di lakukan hari ini, karena hal ini sering ia alami ketika ada agenda perjuangan yang di lakukan, namun ia tidak menghiraukan, ia lalu mematikan henponnya dan dimasukan kedalam tas noken tua miliknya dan terus fokus kepada masa aksi.
Tiba-tiba Farhan mendekatinya dan berbisik,
ada nomor baru yang menelponmu Mid?
Iya ada sekitar lima panggilan. Ya biyasalah, tandanya bahwa aksi kita hari ini berdampak, karena banyak yang suda ketir-ketir, matikaan saja henponmu, fokus keperjuangan kita hari ini. Hamid menjawab dengan senyum tipis kepadan Farhan. Farhan yang memahami apa maksud Hamid lalu segera mematikan henponya dan memasukannya kedalam tas dan kembali bergabung ke masa aksi.
Menjelang beberapa jam perjalanan, masa kini tiba di depan kantor DPR, didepan terlihat aparat kepolisian dengan peralatan lengkap telah berbaris rapi di hadapan mereka, wajah-wajah mereka sangat geram, namun masa tidak pernah gentar sedikitpun kata-kata perlawan terus di gaungkan,
Raka sebagai moderator mengundang Hamid untuk berorasi, sebagai orasi pertama ketika masa tiba di depan kantor DPR. Dengan lantang Hamid berkata
“hari ini telah terlihat jelas siapa yang sebenarnya musu negara?”
“kita datang tidak membawa senjata dan alat tajam, namun coba kawan-kawan liat kedepan mereka yang berdiri didepan kita telah berseragam lengkap mereka membawa gas air mata, water kenon berarti mereka adalah musuh-musuh negara sebenarnya yang tidak mau keadilan hadir di negara ini”
“olehnya itu jika kita semua ingin keadilan hadir di negara ini maka tidak ada kata lain keculai LAAAWAAAAAN !!!!!.
Kata-kata Hamid membuat masa aksi semakin membara, didepan pihak kepolisian mulai terpancing, dan saling dorong dengan masa aksi yang lain. Aksi berjalan hingga sore hari, namun tidak ada satupun anggota DPR yang menemui mereka, aparat kepolisian mulai melakukan himbauan kepada masa untuk bubar namun masa aksi terus membakar ban dan bersorak, serta saling dorong, dan akhirnya aparat kepolisianpun melakukan pembubaran paksa. Gas air mata mulai di tembak, di susul dengan water cenon Abdul yang fokus mengambil gambar dan vidio tiba-tiba terpental di atas jalan dikarenakan gas air mata yang terkenal tepat di kakinya, Farhan yang melihat itu segera mendekat dan membopong Abdul dan mencari tempat aman, sebagian di tangkap dan di sergap oleh aparat kepolisian.
Menjelang adzan magrib masapun akhirnya bubar dengan tidak membawa hasil apapun, malah ada beberapa masa aksi yang ditangkap oleh aparat kepolisian, karena di tuduh melakukan kekacauan, namun kata Hamid kita tidak boleh menyerah, dia berkata kepada Farhan, Abdul dan beberapa kawan-kawannya yang turut membantu Abdul.
Dengan nafas yang tersendat Ia berkata kita tidak boleh menyerah kawan-kawan kita harus kembali dan harus membawa masa yang lebih banyak lagi. Abdul yang terkenal gas air mata di perintahkan untuk kembali bersama kawan-kawan yang lain untuk istirahat, sedangkan Hamid, Farhan dan beberapa kawan-kawan lainya harus ke polres untuk membebaskan beberapa kawan mereka yang di tahan.
Sesampai di sana sorot mata dari beberapa aparat kepolisian semua tertuju kepada Hamid dan Farhan, seakan-akan mereka berdua adalah bronan yang suda lama di cari
Keesokan harinya mereka melakukan konsolidasi kembali, Hamid, Farhan dan Abdul terus didatangi intel dan ditelpon beberapa anggota DPR, semenjak mereka melakukan rencana untuk aksi, ada yang menawarkan uang dengan juta-juta ada juga yang menawarkan untuk memberikan beasiswa S2 yang penting mereka menghentikan aksi, Namun ketiga sahabat tersebut selalu berpegang pada idealisme merek, Hamid berkata kepada dua sahabatnya kita tidak boleh menjualkan idealisme kita.
Pada malam sebelum demonstrasi lanjutan dilakukan, mereka bertiga memilih untuk tidur bersama beberapa kawan-kawan mereka di sekretariat organisasi sekaligus membuat falayer serta agitasi dan propaganda bersama kawan-kawan dari BEM untuk aksi besok.
Waktu suda menunjukkan pukul 01:00 WIT, beberapa kawan mereka yang tadi bersama, telah terlelap dalam mimpi dikarenakan kecapean, seharian sibuk mengkonsolidasi dan setingan aksi.
Namun tidak pada mereka bertiga, diatas meja tersedia kopi hitam tanpa gula dengan tiga batang roko surya yang menjadi teman diskusi tiga lelaki kurus tersebut. Farhan, yang waktu itu sedang menyusun skripsi tentang filsafat pembebasan Paulo Freire, berkata,
“Kita ini agen perubahan, bukan alat kekuasaan.”
Hamid mengangguk pelan. Kemudian bertanya kepada dua kawannya kenapa kita bertiga sebegitu perihatin terhadap kondisi bangsa kita hari ini beda dengan kawan-kawan lainya yang hanya fokus pada nilai dan cepat-cepat menyelesaikan tugas akhir mereka ? sontak mereka terdiam sejenak dan berpikir !
Asap rokok mengepul di sudut ruangan sempit sekretariat mahasiswa, lampu redup menggantung di langit-langit, memantulkan bayangan wajah-wajah letih tapi gelisah. Hamid menatap meja penuh poster aksi esok hari, lalu membuka suara.
Ditengah hening tersebut Abdul kemudian bertanya “Kalian tau Tan Malaka pernah bilangkan ‘Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”
Besok kita turun ke jalan bukan karena ingin terkenal, tapi karena kita masih punya kemewahan itu”.
Farhan mendengus pelan, memeluk lutut di pojok ruangan, dan mengauk-ngauk dengan kata yang barusan di sampaikan oleh Abdul
“Kemewahan? Itu omong kosong romantis, Dul. Apa idealisme masih cukup untuk melawan sistem yang bahkan tak tahu kita ada? Kita ini cuma angka di mata penguasa. Kalau besok kita ditangkap atau dihajar, siapa yang peduli apakah kaum muda yang berlapis-lapis di kampus yang katanya punya banyak ide itu bisa menyelamatkan kita?”
Suaranya tajam, hampir sinis, seolah lelah menjadi naif.
Abdul meletakkan buku Tan Malaka yang sedari tadi ada disampingnya, menatap kedua temanya dengan mata yang menyala.
“Justru karena itu, kita harus tetap lantang. Tan Malaka itu buronan, diasingkan, dipenjara, tapi tak pernah berhenti menulis dan melawan. Idealisme bukan tentang menang—tapi tentang keberanian untuk tetap berdiri saat semua memilih dudukdan diam. Kalau bukan kita yang percaya pada nilai, siapa lagi, kalian mau melihat realitas tidak adilan ini terus tumbuh subur di negara kita ini?”
Hamid mengangguk pelan, sementara Farhan terdiam, menatap poster bertuliskan “LAWAN KETIDAKADILAN!”. Di luar, malam makin larut, tapi dalam ruang sempit itu, api keyakinan belum padam. Entah mereka akan menang atau tidak esok hari, tapi malam ini, di antara asap rokok dan aroma kopi, mereka telah sepakat untuk tetap berdiri, meski di teror, dirayu, dan di ancam bahkan di bunuh sekalipun.
Kalimat Tan Malaka itu selalu menjadi prinsip yang dipegang teguh diantara tiga sahat tersebut, dan kalimat itu yang membuat mereka bertiga selalu di agung-agungkan di antara aktifis yang ada di kmpus. Hari berikutnya, massa kembali bergerak ke kantor walikota. Barikade polisi berdiri menghadang. Mereka terus berorasi, membacakan tuntutan. Tiba-tiba, gas air mata ditembakkan. Suasana ricuh. Abdul tetap mengabadikan semuanya meski matanya perih. Farhan jatuh, kepalanya berdarah terkena pentungan. Hamid memapahnya sambil berteriak ke arah aparat, “Kami hanya menyuarakan kebenaran!”.
Peristiwa itu menjadi titik balik. Media nasional meliput, foto Abdul memotret di tengah asap gas air mata jadi viral. Nama ketiganya dikenal luas. Tapi mereka tidak memburu popularitas. Mereka tetap kembali ke kelas, tetap diskusi, dan tetap turun ke jalan. Hari berganti begitu cepat ketiga toko pergerakan tersebut akhirnya memakai jubah dan toga, meninggalkan kenangan, dan kenangan yang sangat berkesan dan berharga bagi institusi yang namanya Universitas.
Mereka bersumpah hari itu, duduk melingkar di taman kampus setelah mengambil ijaza: “Apapun yang terjadi nanti kita akan tetap berpihak pada rakyat. Aapapun profesi kita, entah sebagai dosen, wartawan, atau bahkan politisi.” Tangan mereka bertaut.
Tiga sahabat, Tiga jalan, Satu perjuangan.
Jalan Panjang yang Menguji Idealisme.
Pertemuan di di kampus itu menjadi akhir dari tiga patriot tersebut,
Mungkin kita akan bertemu tapi tidak seintens dulu, waja kita boleh berubah penampilan kita boleh berubah tapi satu yang tidak boleh berubah “Idealisme” Sahut Abdul, dengan nada pelan namun meyakinkan.
Siap kawanku, sahut Farhan
Hamid hanya tersenyum dan menatap dengan kosong kepada sahabatnya.
Hamid adalah mahasiswa jurusan ilmu politik, yang punya keinginan kuat untuk menjadi seorang yang bisa menata sistem di negara ini dengan baik, maka jalan yang ia pilih setelah wisuda adalah menjadi politisi, ia punya keyakinan kuat bahwa dengan terjun ke dunia politik ia dapat mengubah sistem di negara ini sesuai dengan kepentingan rakyat.
Sedangkan Farhan adalah mahasiswa jurusan sosiologi, ia memilih melanjutkan studinya di Jurusan sosiologi, dengan punya keyakinan kuat seperti Hamid, pulang menjadi seorang dosen sosiolog agar bisa mengajar teori-teori sosiolog tentang keadilan sosial dalam bermasyarakat.
Sedangkan Abdul adalah mahasiswa jurusan sastra Indonesia, memilih jalan sunyi bergabung di salah satu media lokal untuk menjadi wartawan, pilihannya sederhana namun bermakna bahwa ia ingin terus menyuarakan tentang penderitaan yang di alami oleh rakyat.
***
Hari berjalan membawa tiga pemuda idealis itu kepada karirnya masing-masing.
Hamid yang dulu di kampus terkenal sebagai singa jalanan kini, mulai terlihat di panggung-panggung politik, masanya bukan lagi orang-orang yang menggunakan jas berlogo universitas, namun ia telah berhadapan dengan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda, petani, buru dan nelayan.
Ia mulai menyusuri satu desa ke desa lain, satu kecamatan ke kecamatan lain, bukan untuk konsolidasi melakukan aksi seperti masa-masa bermahasiswa namun melakukan kampanye untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR.
Satu hari Hamid turun dari mobil hitam berpelat partai dengan senyum lebar, disambut oleh suara gamelan yang diputar dari pengeras suara masjid. Debu jalanan desa menempel di ujung celana bahan mahalnya, tapi ia tak peduli.
Di lapangan kecil dekat balai desa, warga sudah berkumpul, sebagian duduk di atas kursi, sebagian lagi berdiri di bawah pohon rindang. Ia naik ke atas panggung dengan pengeras suara murahan, lalu mulai berbicara dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan seperti saat-saat ia meyakinkan masa aksi tentang sebuah perjuangan.
“Saya datang ke sini bukan hanya untuk mencari suara, tapi untuk mendengar langsung suara bapak-ibu semua,”
katanya, seolah benar-benar peduli.
Warga desa mendengarkan dengan antusias, meski beberapa hanya menatap kosong, sudah terlalu sering mendengar janji. Hamid mengangkat tangannya,
Jika saya dipercaya duduk di kursi DPR, saya akan perjuangkan anggaran untuk
“irigasi”
“untuk pupuk yang murah”
“untuk beasiswa anak-anak kita sampai kuliah!”
Suaranya meninggi, menggugah.
“Desa ini tak boleh lagi tertinggal”
“tak boleh lagi jadi penonton kemajuan kota.”
Tepuk tangan terdengar, meski beberapa hanya ikut-ikutan. Setelah orasi itu, Hamid membaur, bersalaman, menepuk bahu petani, memeluk ibu-ibu sambil membagikan kaus bergambar wajahnya dan sembako dengan logo partainya.
Ia sempat duduk bersama kepala desa, berbicara tentang rencana membangun jalan dan jaringan internet. Dalam benaknya, semua ini adalah strategi, bagian dari langkah menuju parlemen.
“Rakyat butuh harapan, dan aku harus jadi simbol harapan itu”
gumamnya sambil tersenyum kepada kamera tim media partainya.
Farhan kini berjumpa dengan para doktor dan para profesor yang memberikan kuliah tentang teori-teori sosiologi, ia sangat antusias mengikutiperkuliahan yang diberikan oleh dosen-dosen profesinal.
Setiap pagi, Farhan duduk di bangku pojok perpustakaan kampusnya, membawa setumpuk buku tebal yang sebagian besar berbahasa asing. Karl Marx, Giddens, Bourdieu, Habermas dan lain-lain, nama-nama yang dulu hanya ia dengar sambil lalu di ruang kelas kini menjadi makanan hariannya. Ia mencatat dengan rapi, membaca ulang catatan dosen semalam, dan berdiskusi panjang dengan mahasiswa lain di forum daring. Ia tahu, ini bukan sekadar mengejar gelar magister, tapi mencari dasar yang kuat untuk memahami akar dari ketimpangan, ketidakadilan, dan mengapa sistem begitu sering gagal berpihak pada yang lemah.
Di kelas, Farhan selalu menjadi yang paling banyak bertanya. Ia tidak puas hanya pada kerangka teoretis, ia ingin tahu bagaimana teori bisa menjelaskan realitas di kampung halamannya, di mana para petani terjerat utang dan birokrasi lamban. Ketika membahas Strukturasi atau Kapital Budaya, ia selalu menarik garis penghubung pada pengalamannya sendiri sebagai aktivis dulu.
“Apa gunanya teori kalau tak bisa mengurai derita rakyat?” tanyanya suatu waktu dalam seminar, membuat dosen dan mahasiswa lain terdiam sesaat sebelum mengangguk pelan.
Di sela-sela tugas kuliah, Farhan mulai menulis. Bukan hanya esai akademik, tapi juga refleksi pribadi yang ia kirim ke jurnal-jurnal mahasiswa. Ia menulis tentang politik simbolik, represi halus, dan bagaimana ideologi bisa dibungkus menjadi konsumsi sehari-hari. Ia tahu jalan ini sepi dan melelahkan, tapi ia menjalaninya dengan penuh gairah. Dalam sunyi malam kamar kecilnya, saat semua tidur, ia masih membaca mencari pengertian, menggali lebih dalam. Karena baginya, ilmu adalah bentuk lain dari perlawanan. Perlawanan yang lebih panjang, lebih tenang, tapi tak kalah tajam.
Sementara itu, Abdul memilih jalan sunyi namun bermakna. Ia menjadi wartawan lepas, menulis untuk media alternatif yang mengangkat isu-isu yang jarang tersorot.
Abdul sejak mahasiswa sudah jatuh hati pada dunia kata-kata. Ia percaya, pena lebih tajam dari pedang, dan memilih jalan sebagai wartawan meski tahu gajinya tak seberapa. Setiap hari ia turun ke jalan, ke pasar, ke gang-gang sempit di pinggiran kota, tidur bersama rakyat di pedesan, mendengar keluhan pedagang kecil, buruh lepas, dan anak-anak yang tak bisa sekolah. Dalam catatannya, Abdul menulis bukan sekadar berita, melainkan suara yang lama terkubur oleh hiruk pikuk politik dan janji kosong para penguasa.
Di balik tubuhnya yang kurus dan wajah yang selalu lelah, Abdul menyimpan api yang tak padam. Ia tahu hidupnya mungkin tak pernah bergelimang harta, tapi ia memilih berada di tengah rakyat, merekam duka dan tawa mereka agar dunia tak pura-pura tuli. Baginya, setiap artikel adalah jembatan: dari lorong-lorong gelap menuju halaman depan surat kabar, dari bisik lirih rakyat kecil menuju telinga mereka yang berkuasa. Dan meski sering dianggap hanya “si wartawan kampung”, Abdul merasa itulah panggilan hidupnya mengabdikan diri di persimpangan nasib rakyat yang tak pernah selesai.
***
Waktu melipat tekad, dan dunia nyata menguji keberanian. Beberapa tahun berselang, Hamid muncul di layar televisi sebagai calon legislatif dari partai besar. Partai yang dulu mereka sebut “partai penghisap rakyat.” Ia tampil rapi, mengenakan jas mahal, bicara soal pembangunan, stabilitas, dan kemajuan. Tak ada lagi kata “perlawanan” atau “keadilan struktural.”
Farhan, setelah menyelesaikan studi S2-nya di luar daerah, kembali ke kampus sebagai dosen. Ia mengajar teori kritis, filsafat pembebasan, dan etika sosial. Namun, ketika terjadi pemecatan sepihak terhadap dosen vokal yang menentang rektor, Farhan memilih diam. Ketika mahasiswa berdemonstrasi menolak komersialisasi pendidikan, ia menutup pintu ruang dosennya rapat-rapat. “Saya punya keluarga,” katanya lirih saat ditanya oleh koleganya yang masih kritis.
Awalnya, Hamid masih terlihat teguh. Ia vokal mengkritik parlemen dari dalam, menolak proyek tambang yang merusak lingkungan. Tapi tekanan datang, dari elite partai, dari pemodal, dari sistem yang menuntut kompromi. Lambat laun, retak-retak kecil muncul. Ia mulai bicara seperti politisi lain: data, pembangunan, pertumbuhan. Tak lagi menyebut “rakyat kecil.”
Farhan pun, meski awalnya berani, perlahan menghindari konflik. Ketika rektor memberangus organisasi mahasiswa kritis, Farhan diam. Saat dosen junior dipecat karena vokal di media sosial, ia pura-pura tak tahu. “Aku harus menjaga posisiku agar bisa tetap mengajar,” begitu pembelaannya.
Abdul mulai gelisah melihat dua sahabatnya menjauh dari jalan yang dulu mereka sepakati. Ia menulis kolom opini berjudul “Para Pemilik Janji yang Lupa Diri.” Tanpa menyebut nama, tapi isinya menohok. Ia bicara tentang kaum muda yang dulunya melawan, kini menikmati kursi kekuasaan dan ruang dosen ber-AC tanpa pernah turun tangan pada penderitaan rakyat.
Hamid membaca tulisan itu saat sedang di mobil dinas. Ia menghela napas panjang. Ia tahu itu tentangnya. “Aku tidak benar-benar berubah,” bisiknya pada diri sendiri, “Aku hanya beradaptasi.” Tapi ia sadar, itu hanya dalih untuk membungkam nuraninya sendiri.
Farhan membaca tulisan yang sama di ruang dosennya. Ia menutup laptop pelan. Ia ingin menulis tanggapan, tapi jemarinya ragu. Ia tahu bahwa ia telah memilih kenyamanan. “Aku tidak munafik,” ujarnya dalam hati. “Tapi aku juga tak siap kehilangan semua yang telah aku capai.”
Pada satu hari mereka bertiga akhirnya bertemu kembali dalam sebuah forum dialog publik membicarakan tentang “Demokrasi di Persimpangan Jalan” diskusi yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Hamid hadir sebagai pembicara utama mewakili instansi pemerintah, Farhan sebagai perwakilan dari akademisi, dan abdul mewakili tim media. Di ruang di runag dialog, sebelum dialog di mulai mereka saling bertatapan. Ada senyum kecil, ada genggaman tangan yang canggung. Tapi tak ada lagi api yang dulu menyatukan mereka.
“Sibuk?” tanya Abdul sambil tersenyum miris pada Hamid. “Lebih sibuk jaga citra daripada jaga janji,” balas Abdul dalam hati, meski tak diucapkan. Farhan hanya duduk diam, memerhatikan keduanya sambil menyimpan gelisah di wajah tenangnya.
Saat sesi tanya jawab, seorang mahasiswa berdiri dan bertanya lantang, “Kalian dulu dikenal sebagai aktivis hebat pembela masyarakat kecil sekarang semua punya jabatan yang strategis apakah kalian suda lakukan sesuai dengan kehendak demokrasi yang dinginkan, dan bagaimana menjaga idealisme ditengah kekuasaan hari ini?” Seluruh ruangan hening. Hamid dan Farhan menatap dengan sedikit tersenyum dan menjawab pertanyaan dengan seolah-olah membela diri mereka bahwa, mereka bekerja sesuai dengan profesi mereka masing-masing dan suda sesuai kehendak demokrasi.
Abdul yang mendengar jawaban dari kedua kawannya hanya menatap kosong, terheran-heran dan tersenyum sinis karena melihat kedua kawan seperjuangan yang telah berbelok dengan janji-janji mereka dan tidak mau mengungkapkan fakta yang sebenarnya, Ia melihat kedua kawannya yang berada disampingnya makin bijak kata-katanya namun bukan untuk membela keadilan tapi membela dirinya.
Setelah forum selesai, mereka keluar gedung bersama. Hening. Jalan mereka bersisian tapi terasa jauh. Di ujung tangga, Abdul berhenti dan menatap langit sore. “Kalian ingat janji kita di bawah pohon sekretariat dulu?” tanyanya pelan.
Hamid dan Farhan menoleh, tapi tak menjawab. Dalam diam mereka, tergambar jelas: masing-masing pernah berjuang bersama, tapi kini berjalan sendiri-sendiri di jalan yang berbeda. Janji itu masih ada tapi telah pudar, tinggal bayangan samar yang tergerus waktu.
