Makassar, kananews.net Penulis: Asmil Syaputra (Koord. Divisi Kekaryaan FLP UNM)
“Kapitalisme neoliberal mengubah seluruh dunia menjadi pasar tenaga kerja. Semua adalah pekerja, bahkan saat kita tidur.” – Byung Chul Han
Saat ini, sadar atau tidak sadar kita sedang mengadopsi gaya hidup post-modern. Post-modern merupakan filosofi dalam peradaban Barat, berawal saat diketahuinya kemampuan akal dan sains untuk bertransformasi yang didorong oleh Zaman Pencerahan (abad ke-17 hingga awal abad ke-18) yaitu masa di mana seseorang sudah dapat membedakan mana yang baik dan benar. Kemudian pemisahan antara gereja dan negara (sekularisme) berdampak pada peminggiran agama yang sebenarnya memainkan peran aktif dalam urusan-urusan masyarakat.
Para ilmuwan Barat yakin bahwa untuk meningkatkan kemajuan umat manusia, agama dan spiritualitas harus disingkirkan agar manusia dapat menggunakan akalnya bagi kemajuan ekonomi dan sosial. “Kebebasan” ini mengarah pada munculnya negara-negara modern dan kapitalisme yang dimulai dengan revolusi industri untuk meningkatkan efesiensi. Kemudian, tahun 1980-an sampai 2000-an terjadi kemajuan produktivitas teknologi yang sangat besar.
Mohammed Faris dalam bukunya The Productive Muslim (2017) menuliskan, “hasil dari kemajuan teknologi yang dapat dilihat dan digunakan saat ini yaitu kecerdasan buatan (AI) dan robotika. Sejauh ini, semuanya terlihat seperti kemajuan positif bagi masyarakat manusia. Akan tetapi, ‘individu-individu, perusahaan-perusahaan, dan pemerintah’ mendapatkan manfaat dari produktivitas yang lebih tinggi dalam hal upah individu, laba perusahaan, dan pada gilirannya kesejahteraan ekonomi suatu bangsa.”
Melihat kenyataan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa negara yang “kita anggap sudah maju” itu dicapai dengan banyak pengorbanan dan menimbulkan kesenjangan. Adanya kesenjangan antara si kaya si miskin, kesenjangan antara manusia dan alam, penyakit-penyakit fisik dan mental seperti kelelahan fisik dan mental atau yang biasa kita sebut
burn out.
Byung-Chul Han dalam bukunya The Burnout Society (2010) menggambarkan kehidupan masyarakat modern yang dipenuhi dengan kelelahan, kecemasan, dan depresi akibat tidak adanya batasan-batasan dan norma-norma dari negara maupun agama. Sehingga masyarakat terperangkap dalam budaya eksploitasi diri (self-exploitation). Hal tersebut terjadi dari peralihan gaya hidup masyarakat disiplin (sebagai tuan/penguasa yang mengeksploitasi budak/pekerja) menjadi masyarakat pencapaian (menyakiti diri sendiri dengan menjadi tuan sekaligus budak).
Semakin berkembangnya sains dan teknologi, tidak hanya berdampak pada manusia tetapi pada iklim yang kian hari semakin mengalami perubahan. Sering kita dengar pepatah “yang menanam pada akhirnya akan menuai” hal ini bisa berlaku antara manusia dan alam. Studi yang dirilis oleh Journal of Climate Change and Health 2025 mengungkap suhu panas dapat memicu kelelahan fisik, dehidrasi, gangguan tidur, cemas, stres, hingga peningkatan risiko bunuh diri.
Berdasarkan data Weather Spark, Makassar dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan suhu yang konsisten di atas 30°C diperkirakan sebagai bulan terpanas dengan prediksi suhunya di atas 32°C. Di tambah lagi, Makassar termasuk kota pesisir sehingga dapat memperparah kondisi kesehatan mental penduduknya. Penelitian dari Asri Maharani bersama empat peneliti lainnya yang diterbitkan di Scientific Reports Nature menjelaskan orang yang tinggal di daerah pesisir memiliki peluang yang lebih tinggi mengalami gangguan psikologis seperti depresi.
Kembali ke akar masalah yaitu pandangan materialistik—pemisahan agama dengan kemajuan sains dan teknologi—meniadakan kontrol atau batasan dalam berproduksi. Seorang profesor Amerika bernama Lynn White Jr. (1907-1987) menulis dalam artikelnya berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Science (1967) menjadi tonggak penting dalam pembahasan agama dan ekologi. White menerangkan “pandangan ekologis yang dimiliki masyarakat era modern awal sangat ditentukan oleh keyakinan-keyakinan (beliefs) mereka tentang alam (nature) dan takdir (destiny) yang banyak dipengaruhi oleh agama. Sehingga perbaikannya pun juga harus menyasar religiusitas masyarakat.”
Prof. Martin Rotting yang merupakan ketua prodi studi agama-agama di University of Saizburg, Paris-London dalam penelitiannya yang bertajuk “Sprituality in Prular Society” menyampaikan, “spiritualitas sebagai alat navigasi, spiritualitas yang merusak hubungan-hubungan antarindividu atau kelompok tidak dapat dikatakan sebagai alat navigasi yang baik. Pola keagamaan masa depan dimulai dari individu akar rumput. Berbagai masalah yang dihadapi seperti pemiskinan secara ekonomi, peminggiran, demonisasi sosial, dan perusakan keseimbangan alam dapat menjadi ‘titik-titik navigasi’ yang menjadi pedoman bersama.”
Menyelami maksud dari Rotting akan mengingatkan kita tentang Islam sebagai agama yang komprehensif, menyeluruh, penuh keseimbangan (rahmat) bagi seluruh alam. Islam memiliki nilai-nilai universal seperti keadilan, kedamaian, kesabaran, syukur, ikhlas untuk menjadi titik navigasi sehingga dapat menghubungkan antara individu dan kelompok.
***
Jika kamu ingin berdiskusi lebih lanjut tentang Islam dan Lingkungan Hidup silakan mengikuti kegiatan SPIRIT X Bedah Buku secara virtual yang disediakan oleh Forum Lingkar Pena Universitas Negeri Makassar (FLP UNM). Kamu bisa daftar melalui tautan ini: https://bit.ly/Spiritflpunm. Dan jika kamu punya pertanyaan silakan kirim secara anonim di: https://ngl.link/flpunm
Referensi:
Refleksi Hari Kesehatan Mental: Ketika Krisis Iklim Menguji Mental Pesisir Makassar
Han, B.-C. (2010). The Burnout Society.
Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power.
Mohammed Faris. (2017). The Productive Muslim.