Oleh Hamdan Dani Ismail.
Siswa kelas 11 di SLB A. YAPTI.
Sekertaris Organisasi Intra Sekolah.
Kami berjalan di atas tanah yang katanya merdeka, tapi setiap langkah terasa seperti luka yang tak kunjung sembuh. Di balik senyum para pejabat, kami melihat bayang-bayang penderitaan yang mereka tutupi dengan pidato dan janji palsu.
Negeri ini penuh aturan, tapi kosong akan keadilan.
Mereka menulis hukum dengan tinta-tinta kekuasaan, bukan dengan nurani. Subsidi dicabut seperti nyawa yang dicuri perlahan. Harga melambung, harapan merunduk. Kami disuruh sabar, tapi sabar kami telah lama digadaikan oleh mereka yang hidup di atas kemewahan.
Kami bukan angka dalam laporan tahunan. Kami bukan statistik dalam presentasi anggaran. Kami adalah suara yang dipaksa diam, perut yang dipaksa lapar, dan hati yang dipaksa tunduk.
Dan kini, saat kemerdekaan ke-80 tiba, jangan salahkan kami jika bendera one piece berkibar lebih banyak dari merah putih.
Bukan karena kami membenci negeri ini, tapi karena kami terlalu mencintainya untuk merawat kesucian merah putih ternoda dari kebohongan.
Merah itu darah perjuangan, putih itu tulusnya harapan. Tapi bagaimana kami bisa mengibarkannya, jika darah kami terus ditumpahkan dan harapan kami terus dipatahkan?
Kami masih mencintai Indonesia. Tapi kami muak pada mereka yang mengaku pemimpin, namun tak pernah benar-benar memimpin. Kami muak pada mereka yang bicara tentang rakyat, tapi tak pernah benar-benar mendengarkan.
Tulisan ini bukan sebagai bentuk kebencian, tapi sebagai jeritan cinta yang terluka.

