Kana News

Jauh di Mata, Dekat di Berita

Insting: Energi, Aksi, Reaksi

Bagikan :

Berinsting bisa terhubung dengan realitas. Caranya bagaimana? Misalnya, kita berinsting akan muncul reaksi orang lain. Saat ini, kita berinsting akan Palestina merdeka maka yang terjadi itu pula, Palestina akan merdeka!

Pun sebaliknya, orang lain berinsting bisa membuat kita bereaksi. Misalnya, orang tua berpikir kita berani hidup sendiri, maka yang terjadi pun demikian, kita akan berani hidup sendiri. Jadi, di sini bukan hanya kita yang memulai dan menentukan, tetapi faktor eksternal pun turut berperan.

Kita pasti mengerti konsep “aku sukses karena doa ibu”. Coba telaah, doa itu kan dari ibu, bukan dari kita tentu ini eksternal kita, tetapi kok bisa doa itu menjadi realitas?

Inilah kekuatan doa, doa bisa saja merambat ke insting. Saat kita berinsting sama dengan berdoa. Berdoa yang kita ketahui, diungkap melalui lisan. Nah, letak bedanya di situ. Sederhananya, insting ibarat doa dalam diam. Doa identik dengan keyakinan dalam hati yang dalam dan kepercayaan diri. Begitupula insting. Jika kita yakin akan bahagia, maka itu pula yang akan membentuk realitas.

Insting ibarat energi yang tak terlihat seperti listrik. Bermula dari dalam diri kemudian merambat ke orang sekitar. Inilah pengaruh vibes atau getaran. Kita berpikir bahwa kita bodoh, jelek, buruk rupa maka itu pula yang akan terjadi. Kita men-trigger diri sendiri!

Sebaliknya, orang lain berpikir, kita pintar, keren, positive vibes maka bisa jadi energi itu mengalir kepada kita. Akan tetapi ada suatu waktu kita tidak berinsting sehingga aktivitas kita mulus-mulus saja. Tak ada gangguan dan hambatan, karena di sinilah peran ‘flow‘ atau mengalir. Kita mengalir tanpa memikirkan dampak positif dan negatif suatu keadaan.

Kita juga tak bisa berasumsi kalau tidak berinsting semua akan mulus-mulus saja, karena sejatinya ‘yang mengatur semua ini adalah Tuhan’. Jadi, memang Tuhan sudah memberi garis takdir kepada kita. Berinsting atau tidak itu adalah kehendak Tuhan. Bisa saja kita tidak berinsting kepada orang lain, tetapi tiba-tiba muncul reaksi. Jika terjadi tidak sesuai ekspektasi, berarti itu di luar kendali kita.

Kembali saya meneguhkan bahwa dominannya insting menang karena: ‘Allah tidak mengubah keadaan makhluk, sebelum makhluk itu memulainya’. Misalnya, kita berpikir dulu yang tidak baik, tidak enak, atau hal-hal buruk, maka Allah bisa menciptakan realitas yang ada dalam pikiran kita. Ada ayat, “Allah mengetahui di belakang dan di depan mereka”. Maksudnya Allah mengetahui masa lalu dan masa depan kita. Kita hanya perlu memulai saat ini!

Bahkan, ada ayat “Allah selalu bersama kita bahkan dekat dari kita”. Nah, inilah maksud dari hati. Di dalam hati kita yakin-seyakinnya bisa menjadi orang kaya. Maka, bisa jadi ini membentuk realitas. Realitas bisa merasuk ke jiwa sehingga memunculkan aksi kemudian memunculkan reaksi atau hasil. Tetapi, tidak serta merta modal rasukan itu bisa bereaksi, kita harus berusaha dulu!

Jadi, kita yang harus mulai dulu. Usaha itu kita yang memulai, Allah Maha Mengawasi dan tidak menguji di luar kesanggupan kita.

Contoh, kita tidur sampai siang, tidur karena memang butuh dan capek. Maka, bisa jadi kita akan diberi kenyenyakan untuk tidur sepanjang hari. Berbeda, kalau kita tidur sampai siang, muncul insting, “bagus sekali tidur tanpa membantu orang tua” dan reaksi kita ‘tidur saja’ daripada ‘inisiatif membantu’. Maka, bisa jadi dari reaksi bodoh kita ‘memilih tidur lagi’ kemudian Allah memberikan reaksinya karena kita memilih tidur lagi. Alias, respons akan terjadi dalam bentuk koneksi ke orang lain agar kita tidak banyak tidur, misalnya orang tua memanggil kita untuk membantunya.

Penulis: Asmil Syaputra (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2021 FBS UNM, Divisi Karya FLP Ranting UNM 2024-2025)

Penyunting: Indah Baso (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2021 FBS UNM, Sekretaris FLP Ranting UNM 2024-2025)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *