Kananews.net – Setelah dinyatakan lulus sebagai mahasiswi di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, pada bulan Juni 2021, Saya merasa sangat bahagia. Ya. Sebab, telah lama menjadi cita-cita luhur bagi saya. Karena, kampus ini, merupakan kampus Swasta yang paling ternama di Makassar kota Daeng.
Disamping itu, juga merupakan kampus tertua, dan terbesar, juga terkemuka di kawasan bagian Timur Indonesia. Pun, UMI telah terakreditasi A (amat baik), kampus berjargon Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah, dan Akhlaqul Karimah. Serta daya saing tinggi.
Selalu tampil unggul dalam berbagai program perangkingan perguruan tinggi, baik lokal maupun nasional, bahkan internasional. Sejumlah perangkingan itu diantaranya Klasterisasi Perguruan Tinggi oleh Kemdikbud RI yang menempatkan UMI di posisi 64 dari 2136 Perguruan Tinggi se-Indonesia.
Nah, oleh karena itulah saya memilih kampus UMI sebagai corong aspirasi saya selanjutnya dalam melanjutkan pendidikan. Terlebih, karena jurusan yang sangat saya inginkan, pun telah berakreditasi baik di kampus UMI.
Selanjutnya. Aktivitas kepenulisan yang selama ini selalu menjadi peringkat nomor satu dalam agenda terpenting saya, pun terabaikan oleh karena sistem pembelajaran daring yang banyak menyita waktu.
Mengakrabkan telinga pada fitur-fitur yang ada pada aplikasi zoom, geogle meet, juga cara menggunakan google classroom. Disamping itu, alasan utama saya, karena ingin benar-benar fokus dengan lingkungan baru yang dijalani.
Apa lagi, program studi yang saya pilih di kampus, kurang terjamah oleh disabilitas. Sehingga menuntut saya benar-benar serius belajar. Alhasil, tak ada satupun yang dapat saya perbuat untuk lebih mengembangkan diri.
Padahal, saat-saat menjadi mahasiswalah seseorang dapat menunjukkan aksinya pada semua elemen masyarakat. Dan, mempergunakan berbagai kesempatan untuk menambah wawasan. Akibatnya. Dalam beberapa bulan menjalani peran sebagai mahasiswi, saya seakan stagnan dengan diri sendiri.
Walau saya telah kembali menulis satu buah esai, namun untuk kembali menulis saban hari, masih sulit diwujudkan. Sebab. Rasa bersalah ini, tak serta merta begitu saja menyadarkan saya. Ya. Bayangkan saja, di tahun 2022 ini, hanya empat karya yang saya buat.
Lantas. Semuanya, belum satupun yang saya persembahkan untuk Forum Lingkar Pena Ranting UMI. Hal ini, membuat saya merasa sangat bersalah. Berjanji akan selalu memperbaiki diri. Mempersembahkan karya terbaik untuk Forum Lingkar Pena. Sebab. menjadi suatu penghormatan bagi saya, yang telah dikukuhkan menjadi salah-satu kekasih.
Sebab para pendirinya merupakan sastrawan ternama di Indonesia. Dan, tak hanya itu, mereka merupakan sastrawan yang amat mengedepankan nilai islamiah dalam karya-karya mereka. Dikukuhkan sebagai anggota Forum Lingkar Pena, bukan hanya mengajarkan kepenulisan bagi saya. Melainkan. Mengajarkan, bagaimana berorganisasi, dan menjadi penulis yang mengedepankan nilai-nilai keislaman pada karya-karya saya.
Akhirnya. Berangkat dari niat-niat mulia para pendiri, tempat saya mengikrarkan sumpah saat dikukuhkan sebagai anggota FLP, saya bertekad agar lebih banyak menulis. Genre saya tak berada pada larik-larik puisi, melainkan pada cerpen dan esai.
Apakah menulis larik-larik puisi dengan menggunakan segala rasa, dapat saya lakukan? Ya. Tentu bisa. Akan tetapi, tentu takkan sesyahdu puisi-puisi mereka yang senang menulis sajak-sajak puisi.
Semua orang bisa membuat puisi. Tak terkecuali anak-anak, dan orang yang sudah tua rentah. Asal mereka memiliki kemauan, dan punya keinginan untuk belajar. Namun, kembali lagi bahwa setiap sastrawan memiliki genrenya masing-masing.
Oleh karena itu, karya-karya sastra yang saya buat selalu berupa cerita pendek, atau esai. Saya teringat suatu ketika seorang kawan bertanya perihal saya, yang tak tahu membuat larik-larik puisi. Kemudian saya jawab saja,
“Saya adalah seorang yang agak realistis memandang hidup, juga memiliki watak keras. Sehingga sulit untuk menciptakan rasa dalam puisi yang saya buat.”
Nah. Oleh karenanyalah, saya selalu berusaha menciptakan hal-hal baru pada karya esai dan cerpen saya. Sebab saya memahami bahwa menulis itu merupakan sebuah proses. Dalam menulis sebuah karya, baik puisi, cerita fiksi, atau esai, memiliki proses panjang agar dapat disetarakan dengan karya-karya sastrawan.
Maka untuk meraihnya tentu dengan memperbanyak pembendaharaan kata. Dengan demikian, hal ini dapat disimpulkan, jika tak mutlak dengan hanya membaca buku-buku saja. Akan tetapi dapat ditemukan dengan rajin membaca karya-karya orang lain. Sebab. Akan memberikan warna baru juga gagasan yang baru.
Terkait terletak di manakah genre penulis pun sebenarnya penulis tak tahu. Namun, penulis selalu berupaya menciptakan aroma baru dalam setiap karyanya. Saya sangat bersyukur. telah diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala bertemu dengan Forum Lingkar Pena.
FLP yang telah membuka mata hati penulis tentang corak keislaman yang selalu ditekankan oleh pendiri-pendiri terkemuka FLP. Akhirnya, tulisan ini saya tutup, dengan harapan, bahwa kelak saya akan mampu berdakwah melalui tulisan untuk para pembaca saya!
Dan sekiranya, tulisan-tulisan saya mampu menjadi obat penenang hati dan jiwa untuk seluruh pembacanya!
Makassar, 27 Desember 2022
Profil Penulis.
Reski try Ulva.
Cicit dari Karaeng Bontoa ini, lahir di Ujung Pandang. Pada tanggal 20 Oktober 1993.Sedang berkuliah di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia senang memasak, dan makan kripik, juga yang manis-manis. Menurut kepada kedua orang tua adalah hal mutlak baginya. Selama Allah masih memberikan umur panjang.Bersembunyi di balik kebohongan adalah lawan hidupnya.