Pena Maha Guru

ByBiccu 99

Okt 17, 2022
Bagikan :

Oleh Wanharun

Kananews.net – Kalimat yang sering kali didengar oleh kita kebanyakan tentang, “Setiap orang bisa mengajari, tapi tidak semua orang dapat memberikan teladan yang baik.” Ialah sangat memberikan kesadaran bagi kita semua.

Bila kita membaca riwayat bapak pendidikan nasional bernama Ki Hadjar Dewantoro dengan tiga adigium “Tut Wuri Handayani” nya yang sangat nasional. Maka, di skala lokal saya memberanikan diri untuk menyebutkan Maha Guru Abdul Kadir Umar Peurapeq. A.Ma, sebagai role model tokoh pendidikan akar rumput dari perkampungan.

Tidak berlebihan untuk memberikan penghormatan atas budi—jasa yang ditorehkan melalui “lisan—pena” yang dilakukannya. Adalah fakta yang tidak harus untuk diingkari terhadap kepribadian, kesahajaan dan keteladanan atas kesaksian selama badan belum terpisah dengan ruh nya.

Sejak tahun 1970-an beliau sudah menjadi tenaga pendidik dengan ikhlas dan tidak berharap upah lebih atas usaha demi “mencerdaskan anak bangsa”, kesemuanya dilakukan atas berharap ridha dan rahmat Ilahi.

Mulanya sekolah yang berstatus swasta di tahun 1970 (MIS Nurul Ijjtihad) hingga sekolah beralih menjadi status negeri di tahun 1998 (MIN 1 Lembata). Kurun waktu begitu panjang untuk setiap harinya untuk mendidik, mengajar, dan membimbing generasi di madrasah ibtidaiyah pertama.

Pena yang beliau torehkan begitu gemilangnya bak bintang-gemintang yang begitu indah dipandang saat malam hari. Setiap alumni merasakan percikan cahaya ilmu dari lisannya. Hingga, kepergian “Maha Guru” mustahil untuk tidak merasa isak-tangis yang sangat mendalam oleh para murid ataupun santri di surau yang pernah beliau ajarkan.

Para murid, alumnus dan siapapun orang yang pernah berkomunikasi langsung dengan beliau pasti akan merasa terkesima dengan kepribadian “Maha Guru”, sulit ditiru laku—bijak bestari yang menjadi spirit cinta dalam kehidupannya.

Beliau banyak memberikan arti makna hidup yang sesungguhnya. Pilihan untuk hidup yang sederhana ialah jalan ninja nya. Inilah yang sangat sulit untuk ditiru oleh para murid dan alumnus lainnya.

Rumah beliau jauh dari kata “mewah”, pakaiannya jauh dari sebutan “bermerek”, kendaraannya hampir tidak pernah dia kendarai. Lagipula untuk apa berumah mewah, pakaian bermerek dan kendaraan mahal, bila hidup bergelimang kesombongan.

Sikap kesederhanaan beliau, saya memberikan kesamaan yang sejajar dengan Moh. Hatta yang tidak bisa beli sepatu sampai akhir hayatnya, Agus Salim yang selalu berpindah-pindah tempat tinggal, dan masih ada tokoh-tokoh dijadikan pelajaran “Mata Air Keteladanan” yang dipenai oleh Yudi Latif dalam karyanya ontologi nya.

Faktanya, di rumah beliau saya tidak pernah menemukan kasur empuk berkaki besi. Tidak saya temukan marmer lantai yang mengkilap, dinding tembok yang menyilaukan mata, tidak pula saya temukan jendela kaca yang menembus pandangan.

Sungguh, saya hanya menyaksikan rumah beliau hanya tiga kamar beralaskan tikar, berlantaikan tanah, berdindingkan bambu dan jendela kayu bambu tua yang dimakan rayap. Itupun rumah bukan miliknya.

Bilamana beliau diukur kekayaan secara materi itu sangat jauh dari yang kebanyakan orang lain miliki. Namun, bilamana diukur yang bukan non-materi, tentu beliau orang yang sangat kaya.

Dengan penanya ia menulis kata-kata, dengan lisannya ia menyampaikan pesan hikmah, dengan keluasan jiwanya ia menerima derita dan kebahagiaan. Dan itulah hakikat kekayaan yang sesungguhnya.

Kemarin purnama bercahaya, hari ini purna sudah baktimu, esok kami melakoni pendir-pendir bajikmu, pena mu selalu abadi !

Selamat berpulang ke haribaan Sang Pengasih, Maha Guru.

Dari murid mu,

Wanharun