Refleksi 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Cengkraman Oligarki

ByMuhsin 92

Agu 17, 2022
Bagikan :

kananews.net – Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia memasuki usia yang ke-77. Melihat dari segi historis, banyak kenangan pahit yang dialami para pendahulu kita. Mereka berjuang mati-matian bersimbah darah agar dapat dinikmati oleh anak cucu mereka nantinya. Tetapi kata Merdeka hanya dinikmati oleh mereka yang menduduki tahta kekuasaan tertinggi.

Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD1945) dengan tegas menyatakan, Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan harus di hapuskan. Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan prikeadilan. Namun, Apakah kita benar-benar merdeka? Apakah kita benar-benar memproleh suatu keadilan? Yap, tidak sama sekali.

77 tahun Indonesia merdeka, masih berputar-putar di segelintir individu yang memegang sumber daya kekuasaan kekayaan. Maraknya polemik-polemik kebangsaan yang terjadi. Mulai dari Rancangan undang-undang KHUP yang katanya tidak tidak Pro terhadap rakyat atau malahan merebut kemerdekaan serta kebebasan Rakyat itu sendiri.

Baru-baru ini media sosial juga sempat viral, seorang ibu-ibu yang melakukan tindak kejahatan mencuri coklat di suatu minimarket. Tetapi anehnya, yang melakukan permohonan maaf malahan pegawai dari minimarket tersebut. Lebih parahnya lagi, sang pencuri tersebut mendapat perlindungan hukum.

Tidak hanya terjadi di ranah masyarakat luas, ketidak adilan juga kerap kali terjadi dikalangan Mahasiswa. Seperti yang terjadi baru-baru ini, beberapa Universitas yang ada di Indonesia, mahasiswanya melakukan aksi unjuk rasa terhadap pihak birokrasi kampus mengenai pembayaran UKT serta penggunaan fasilitas kampus yang tidak maksimal.

Namun, hal tersebut tidak mendapat respon baik dari pihak yang bersangkutan. Malahan makin lama, pihak birokrasi semakin bertindak seenaknya terhadap mahasiswa. Kasus pelecehan serta kekerasan juga kerap kali terjadi dan kasus-kasus ini perlahan larut, ditelan oleh waktu.

Banyak kalangan yang beranggapan, jika priode kepemimpinan kali ini tidak jauh beda dari kekuasaan orde baru, pada masa pemerintahan Soeharto. Hal tersebut dapat dilihat dari sering terjadi pembatasan dalam berpendapat, kekerasan dan tindakan-tindakan agresif penegak hukum terhadap masyarakat kerapkali terjadi.

Keadaan seperti ini pernah menjadi kerisauan sang proklamator kita, Bung Karno. Ia mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Narasi ini disampaikan oleh Bung Karno ketika sedang berpidato pada 10 November 1961.

Ungkapan tersebut telah memberikan peringatan tentang ancaman yang akan terjadi kedepannya. Tetapi kita semua seolah acuh, sehingga mengabaikan makna mendalam yang terkandung dalam narasi tersebut. Hingga pada akhirnya, hantu-hantu oligarki terus bergentayangan tanpa henti.

Oleh sebab itu, ada beberapa alasan mengapa kita perlu komitmen melakukan perlawanan terhadap oligarki hingga ke akar-akarnya. Oligarki dapat menyebabkan nilai-nilai persamaan, partisipasi politik, keterbukaan, kebebasan berpendapat dan terutama kedaulatan rakyat seakan tenggelam.

Sehingga, oligarki hanya ditunjukkan untuk kepentingan elitis dan ekslusif dan menyebabkan demokrasi berjalan setengah hati, akibatnya kedaulatan rakyat akan terlihat samar, hanya tampak pada momen kontestasi elektoral semata.

Sebagai konsekuensinya, demokrasi yang terbajak oleh oligarki menyebabkan segenap kebijakan, seolah terarah pada pemenuhan kepentingan eksekusif para elite, pengusaha dan rekan-rekannya. Tidak meng­herankan bila kemudian di negara-negara yang demokrasinya setengah matang, kesejahteraan rakyatnya tersendat. Tertelan oleh kartel politik menyebabkan kemakmuran semakin minim (Kartz dan Meir 1995).

Secara tidak langsung, masyarakat juga memanfaatkan keberadaan oligarki ini. Sebab, wilayah konstituennya oligarki harus cerdik memahami kebutuhan masyarakat, agar dapat meraih simpati dan pada akhirnya memproleh kekuasaan. Prilaku seperti ini pula juga terjadi pada diri mahasiswa, menghalalkan berbagai cara agar dapat memperoleh kekuasaan, pada suatu lembaga kemahasiswaan yang menaunginya.

Mengingat kemerdekaan tidak cukup dimaknai dengan keluarnya bangsa Indonesia dari jerat penjajahan saja. Merefleksi kehidupan yang penuh tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa hingga terpenuhinya keadilan sosial yang menjadi nilai dasar kemerdekaan masih perlu diperjuangkan.

Dalam mencapai poin-poin yang tertera di atas, perlunya tindakan nyata dari kalangan masyarakat, dengan tegas melakukan perlawanan terhadap hantu-hantu oligarki yang tiap harinya terus bergentayangan. Peran aktif pemuda juga sangat dibutuhkan, terutama bagi mahasiswa yang seorang social of control.

Tentang Penulis:

Zulfikri Amran, kader FLP Unismuh. Depertemen Bidang RPK Pikom IMM FEB.

By Muhsin 92

Muhsin 92, jurnalis kananews.net