Silaturrahim & Mudik

ByTS80

Mei 4, 2022
Bagikan :

kananews.net – Tradisi mudik memiliki pesan mulia, yakni menyambung tali silaturahmi antara keluarga dan tetangga di kampung halaman. Sebabnya mudik jangan dinodai dengan ajang flexing atau pamer atas kesuksesan di perantauan kepada para kolega.

Kadang mudik menjadi arena show of force untuk menunjukkan kekuatan dan menunjukkan keberhasilan bahwa sebagai perantau dia sudah berhasil dan pulang dengan segala tampilan keberhasilannya.

Momentum mudik agar digunakan sebaik-baiknya untuk menyambung tali silaturahmi, saling meminta maaf, dan menjaga perasaan saudara atau orang lain yang masih berjuang untuk sejahtera. Yang terpenting dalam mudik itu adalah bersilaturahim, membangun kembali hubungan dengan saudara dan kerabat yang jarang kita melihat dan bertemu.

Fenomena mudik sudah menjadi budaya nasional yang inklusif. Meski Idul Fitri dirayakan oleh umat Islam, namun mudik dimanfaatkan oleh semua umat beragama. Sebabnya jumlah pemudik dari tahun ke tahun selalu besar.

Meski kadang mudik berfungsi rekreatif dan refreshing bagi sebagian orang, namun jangan melupakan tujuan utamanya, yaitu menyambung tali silaurahmi.

Pemerintah kembali mengizinkan masyarakat untuk mudik setelah dua tahun melarangnya lantaran kasus Covid-19 di Indonesia terkendali. Namun pemerintah meminta masyarakat agar tetap menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.

Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata udik yang mengandung makna dusun, desa atau kampung. Selama ini kesan udik cenderung berkonotasi negatif, kadang dikaitkan dengan kebodohan, ketertinggalan atau kampungan. Padahal dalam pengertian lebih luas, mudik bermakna mereguk kembali semangat udik yang identik dengan gotong royong, kesetiakawanan, kebersahajaan, dan persaudaraan untuk dibawa lagi bila para pemudik balik ke komunitas di mana mereka tinggal.

Kita patut bersyukur, pada tahun 2022 ini mudik lebaran akan segera dimulai atau bahkan sebagian perantau sudah melakukan perjalanan spiritual itu. Pemerintah memprediksi sekitar 80 juta masyarakat kota akan mudik ke kampung halaman. Berbeda dengan dua tahun sebelumnya (2020 dan 2021), pemerintah meniadakan bahkan melarang mudik karena virus corona sedang merajalela.

Setiap menjelang hari raya Idulfitri, mayoritas masyarakat Indonesia yang tinggal di kota besar kembali menuju kampung halaman masing-masing. Seiring dengan akan berakhirnya Ramadan, mereka yang sedang berada di perantauan biasanya mulai disibukkan berbagai persiapan untuk mudik lebaran ke kampung halaman. Sebuah tradisi yang begitu mengakar di masyarakat Indonesia.

Tradisi mudik lebaran sudah menjadi tradisi tahunan yang selalu saja menarik untuk dibahas dan diceritakan. Beberapa orang memilih untuk pulang sebelum Syawal, beberapa yang lain, memilih untuk mudik setelahnya.

Pada dasarnya, mudik merupakan istilah umum yang disematkan pada mereka yang pulang kampung dan tidak terbatas pada periode waktu tertentu. Setiap orang yang pulang kampung disebut mudik. Namun pada perkembangannya, mudik diartikan sebagai pulang kampung saat lebaran saja. Alasannya, lebaran merupakan momentum yang paling banyak dimanfaatkan untuk pulang kampung karena sering dikaitkan dengan perjalanan spiritual dan sarat makna, selain pemerintah juga biasanya menetapkan waktu libur nasional cukup lama.

Hingga pada akhirnya, jika kata mudik itu disebut, secara spontan masyarakat Indonesia akan membayangkan mudik lebaran dengan segala hiruk pikuknya yang menyita waktu, mulai dari perjalanan yang panjang, macet, berdesak-desakan, panas, dan lain sebagainya. Tetapi, semua itu tidak mengurangi semangat masyarakat Indonesia untuk tetap mudik.

Daya tarik mengikuti mudik sangat kuat karena ikatan komunitas masyarakat Indonesia amat kental. Ini tidak lepas dari kondisi geografis yang berpulau-pulau dan bersuku-suku. Primordialisme (kedaerahan) menjadi identitas yang begitu mengakar dan kuat. Ini tentu punya daya tarik tersendiri. Siapa pun yang merantau pasti rindu pulang kampung untuk bereuni bersama sanak famili dan handai tolan. Bahwa seberapa pun jauhnya merantau, pada akhirnya seseorang akan kembali ke asalnya. Pepatah mengatakan, “setinggi-tingginya bangau terbang, ia akan kembali ke sangkarnya”.

Tradisi mudik lebaran telah menjadi ritual bagi umat muslim Indonesia, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin, pekerja kantoran maupun buruh pabrikan, bahkan pengepul asongan. Berbagai alasan turut menyertai para pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orangtua, silaturahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Mudik juga dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal yang tidak peduli ia berasal dari golongan apa. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut datangnya hari raya Idulfitri.

Mudik sebenarnya adalah bentuk kebutuhan psikologis atau kebatinan. Di mana timbulnya dorongan keinginan dan kerinduan yang kuat untuk menapak tilas tempat lahir dan tempat yang menyimpan memori dan masa lalu sebagai anak-anak hingga dewasa. Ini merupakan kerinduan psikologis-primordial. Di Indonesia, momentum lebaran dan mudik didukung oleh pembenaran ajaran agama untuk menyampaikan bakti dan permohonan maaf kepada keluarga, khususnya orangtua. Selain itu pemerintah juga memfasilitasi dengan memberikan cuti dan libur lebaran cukup lama.

Sumber: (www.tempo.co.id, www.fitk.uinjkt.ac.id, www.islampos.com , www.republika.com, )

والله اعلم بالصواب

Mari istiqomah dalam beribadah. (*)

U_Ibe’ Lapatongai

By TS80