Nestapa Kehidupan Honorer dan Islam Sebagai Solusi

ByMuhsin 92

Feb 11, 2022
Bagikan :

 

Oleh: Melisa (Aktivis Muslimah)

kananews.net – Nasib guru honorer kembali menjadi perhatian, sekelumit permasalahan honorer tersebut sebenarnya bukan kali pertama. Mereka murni sebagai korban yang terus dibuai janji manis oleh pemerintah yang katanya akan mengangkat mereka jadi ASN. Namun alih-alih diangkat menjadi ASN pemerintah justru berkhianat dengan memunculkan kesepakatan akan menghapus tenaga honorer di instansi pemerintahan.

Seperti dilansir Liputan 6.com (kamis, 20/1/2022), Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya status tenaga honorer dipemerintahan sudah tidak ada lagi pada dua tahun mendatang.

Hal ini tentu saja menjadi penegasan akan usainya status tenaga honorer pada 2023 nantinya. Setidaknya Plt Kepala Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik Kementrian PANRB, Mohammad Avverouce, menjabarkan secara sederhana soal alasan menghilangkan tenaga honorer. Dia coba mengibaratkan suatu instansi sebagai sebuah perusahaan. Direktur atau pejabat yang berwenang atas perusahaan tersebut kemudian kerap membawa orang bawaannya masuk ke dalam tanpa sepengetahuan HRD.

“Soalnya ada yang misal kaya gini. Manajemen di suatu perusahaan punya yang namanya biro HRD. Terus di bawahnya ada direktur-direktur. Direkturnya yang merekrut diri sendiri, enggak lapor ke HRD. Itu tuh yang namanya tenaga harian lepas,” Paparnya kepada Liputan6.com, Jumat (21/1/2022).

Dari kebijakan yang dilontarkan pemerintah tidak hanya membuat kalang kabut para honorer, namun pengamat pun tak memberi apresiasi positif. Sebagaimana ungkapan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah yang meminta pemerintah menunda penghapusan status tenaga honorer pada 2023.

“Harus ditunda dulu, pemerintah terlalu berlebih-lebihan. Pemerintah sendiri tidak memberikan solusi hanya memberikan aturan saja,” kata Trubus kepada Liputan6.com Jumat (21/1/2022).

Tidak hanya pengamat kebijakan publik yang geram, namun ketua Forum Honorer Sekolah Negeri FHSN Gunungkidul Aris Wijayanto juga mengaku resah dengan pernyataan tersebut. Mengingat masih banyak guru honorer yang belum diangkat menjadi ASN baik itu PPPK ataupun PNS (Liputan6.com/20/1/2022).

Hal ini bisa menjadi bukti gagalnya negara dalam mengurusi problem penyaluran tenaga kerja. Belum lagi cara pandang pemerintah kepada rakyat hanya dari sisi untung rugi. Bagaimana tidak, di tengah tingginya angka ataupun jumlah honorer pemerintah malah dengan entengnya mengeluarkan kebijakan tersebut.

Seolah para honorer adalah beban negara jika masih terus-terusan dibayar menggunakan kas negara, padahal selama ini mereka pun rela bekerja meski dengan upah yang tak seberapa bahkan tak layak. Jelas saja, pemicunya adalah karena ketidakmampuan mereka menjadi mesin pencetak uang hingga membuat posisi mulianya tidak dianggap.

Terlebih jika diperhatikan bahwa kebijakan ini juga sebenarnya kontra dengan iming-iming pemerintah yang katanya akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Namun faktanya, kebijakan yang pemerintah keluarkan sepertinya mengisyaratkan kesiapan akan membludaknya gelombang pengagguran, atau justru menambah nestapa di tengah-tengah rakyat?.

Sungguh, akar masalah buruknya perlakuan kepada honorer dipelopori paham kapitalisme yang dianut pemerintah. Kondisi seperti ini tidak mengherankan di sistem sekuler kapitalis yang menguatkan ikatan hanya pada asas manfaat saja.

Lain halnya dengan sistem pemerintahan Islam, akan sulit didapati potret buram dalam hal ketenagakerjaan bahkan istilah honorer pun tidak akan ada. Sebab negara memberi penyediaan lapangan kerja memadai baik muslim ataupun mereka yang nonmuslim di mana bentuk perekrutannya sesuai kebutuhan negara dengan syarat mutlak bahwa mereka adalah kewarganegaraan di negara Islam.

Mereka juga akan mendapatkan perlakuan adil sesuai dengan syariat serta upah layak yang tidak sebercanda upah dalam sistem kapitalis.
Dalam negara Islam, gaji pegawai diambil dari kas baitul maal yang bersumber dari hasil pengelolaan kekayaan alam seperti bahan tambang emas, batu bara dan lain sebagainya.

Namun apabila kas dari baitul maal kosong maka akan ada kewajiban bagi kaum muslim yang mampu untuk mengeluarkan pajak guna membayar upah para pekerja.
Tentu saja pengaturan ini berbeda dengan sistem sekuler kapitalis, di mana anggaran negara semua sumbernya dari pajak. Kewajiban bayar pajak pun dibebankan pada rakyat tanpa melihat yang mampu dan tidak mampu.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa di sistem negara Islam rakyat tidak akan pernah dicampakkan terlebih menganggap rakyatnya sebagai sebuah beban. Malah sebaliknya, negara akan memposisikan diri sebagai pelayan atas rakyat. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan “seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Demikianlah, satu-satunya sistem yang semestinya berlaku untuk memberi perlindungan utuh bagi umat adalah sistem pemerintahan Islam yang asalnya dari Allah melalui penerapan aturan islam secara kaffah.
Wallahualam.

Melisa, aktivis muslimah.

By Muhsin 92

Muhsin 92, jurnalis kananews.net