kananews.net – Kegiatan kedua kami hari itu adalah hadir dalam sebuah majelis dzikir NU, yang beraliran thoriqah sufi yang kental. Kehadiran kami pun disambut dengan sholawat dan zikir bersama. Sejujurnya saya merasakan kesejukan dengan penyambutan ini. Sholawat dan dzikir adalah penyejuk hati di tengah panasnya kota Surabaya.
Di acara ini kami lebih banyak berbicara tentang perkembangan dakwah di Amerika. Diskusi ini memang menjadi bagian dari bedah buku terbaru kami “Kuketuk hati dari kota judi”. Sebuah buku yang kami tulis berdua (dengan Mba Peggy Melati).
Satu hal yang menarik bagi saya di sini adalah kenyataan bahwa saya adalah alumni pesantren Muhammadiyah. Tentu banyak yang mengenal saya sebagai kader Muhammadiyah. Kecurigaan orang tentunya juga adalah bahwa saya “anti” non Muhammadiyah.
Tapi benarkah demikian? Tidak seharusnya demikian.
Saya adalah seseorang yang berpaham “merangkul” semua kalangan selama itu masih dalam batas dinding-dinding kebenaran. Artinya, selama perbedaan itu adalah perbedaan pendapat atau penafsiran yang terikat oleh Al-Quran dan As-Sunnah, saya akan menerimanya sebagai bagian dari pemikiran Islam yang dihormati. Kendati mungkin saya tidak setuju atau sepaham.
Saya melihat perbedaan-perbedaan yang ada tidak lebih dari penafsiran/cara pandang, yang justeru saling melengkapi. Dan karenanya menjadi penyambung bagi berbagai kelompok dalam rumah Islam yang satu ini menjadi kebutuhan terpenting di saat kesatuan itu tercabik-cabik. Di sinilah kemudian saya sebagai kader Muhammadiyah merasa sangat nyaman bekerjasama dengan saudara-saudara saya yang kebetulan punya afiliasi (Islam) yang lain.
Prinsip saya sederhana. Kita berjuang untuk Islam dan kemanusiaan. Afiliasi apapun jangan sampai menjadi tujuan. Oleh karenanya apapun afiliasi kita, baik dalam ormas maupun orpol, sebaiknya jangan mencabik kesatuan umat dan mengorbankan kepentingan Islam dan keumatan.