Bagikan :

 

kananews.net – Ada dua Ali yang hendak saya ulas dalam kolom ini: Muhammad Ali dan Imam Shamsi Ali. Dua-duanya sama-sama fenomenal: mereka bagian dan bicara tentang Islam, dengan seting Amerika dan dunia. Ali yang satu, petinju legendaris yang sudah wafat tahun lalu dengan upacara penghormatan cara Islam yang luar biasa. Dia warga kulit hitam yang peka terhadap isu diskriminasi. Nama aslinya Cassius Clay.

Dia menjadi muallaf mengikuti karir tinjunya yang tengah moncer. Prosesnya unik dan berliku. Dia berjumpa dengan organisasi Nation of Islam dengan tokohnya Elijah Muhammad yang ajaran-ajarannya dalam beberapa hal, tidak lazim. Dia juga berinteraksi dengan Malcolm X yang kritis dan rasional. Sayangnya Malcolm terbunuh dalam suatu peristiwa ketika dia sedang ceramah. Sepeninggal Elijah, transformasi terjadi: anaknya mengakhiri pandangan-pandangan tak lazim dan menegaskan gerakannya yang Islam Suni. Ali pun demikian.

Pada masa senjanya, dalam sebuah buku, dia menegaskan sebagai pemeluk Islam yang suka dengan tradisi kesufian.
Jelaslah Ali sosok ajaib. Otomatislah dia segera jadi jembatan atas isu-isu kemanusiaan dal Keislaman antara dunia Barat dengan dunia Muslim. Di belahan dunia Muslim, sosok Ali sangat membanggakan: banyak yang mengidolakannya sebagai superhero nyata yang Muslim. Di dunia Barat, bahkan Ali pun dikomikkan, dipertandingkan dengan Superman.

Di Indonesia, dia bintang olahraga terpopuler, yang setiap pertandingannya dirubung orang yang berdesak di depan benda ajaib modernisasi: televisi. Itu semua saya kisahkab dan ulas dalam buku saya, Bukan yang Terbesar: Memetik Hikmah Kisah Hidup Sang Legenda Tinju Dunia Muhammad Ali (2016).

Imam Shamsi Ali atau Ali yang kedua juga sangat membanggakan kita sebagai orang Indonesia. Dia ialah ikon juru bicara Keislaman yang sangat dipertimbangkan oleh para tokoh di Amerika.

Dia, sebagaimana disebutkan dalam salah satu bukunya, Telling Islam to the World: Kisah Perjalanan Dakwah Seorang Imam New York (2015, 2017), populer pasca-peristiwa 9/11, sebagai representasi Islam moderat di Barat. Dia termasuk tokoh garda depan pendakwah yang mampu menjadi jembatan Islam-Barat.

Dalam bukunya itu (kebetulan oleh panitia Jakarta Islamic Center, saya termasuk yang diberi kesempatan untuk mengomentarinya bersama narasumber lain) menggambarkan pandangan dia tentang Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Islam adalah agama damai, jauh dari yang dipersepsikan secara salah oleh berbagai kalangan di Barat, atau yang sengaja mengembangkan Islamophobia.

Shamsi Ali punya pandangan yang tak begitu saja meninggalkan ketentuan-ketentuan baku dalam agama, di tengah isu-isu liberal dunia Barat. Maka, ia pun oleh mereka termasuk yang masih konsisten menjaga nilai-nilai konservatif dalam membawakan Islam. Dia terbuka dan dialogis. Dia dihadapkan pada isu-isu yang seringkali kontroversial dan rentan disalahpahami.

Misalnya, ketika dia menjelaskan isu perkawinan sejenis dan politik luar negeri Amerika (hal. 156), dia cukup berhati-hati mencoba mendudukkan soal dan meresponsnnya secara proporsional dan adil.

Yang dimaksud proporsional ialah terbuka terhadap yang berbeda, menghormati dari sisi kemanusiaan, terbuka pula untuk dialog, tetapi tetap menjaga prinsip atau ketentuan ajaran agama. Dalam isu perkawinan sejenis itu, dia menolak, karena dalam Islam, pernikahan ialah antara lelaki dan perempuan. Dia juga mengajak untuk proporsional dalam menelaah politik luar negeri Amerika: tidak semuanya merugikan atau menafikan Islam. Bagaimanapun, merujuk pada kiprah dan pengalamannya, Islam di Amerika berkembang signifikan dari jumlah pemeluk tahun ke tahun.

Tampaknya dia paham betul strategi berdakwah di tengah-tengah dinamika masyarakat dan pemerintah Amerika. Tentu saja jalan yang dipilihnya, moderat, bukan radikal konfrontatif. Dia lebih memanfaatkan titik-titik temu antara nilai-nilai Islam dan Barat, yang universal. Kita bangga bahwa orang Indonesia, mampu berkiprah nyata dalam memerangi Islamiphobia dan mempromosikan suatu wajah Islam yang damai, terbuka, dialogis, yang jauh dari gambaran sebagai apa yang dituduhkan sebagai “agama teroris”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *